Kamis, 08 April 2010

filosofi ekonomi dunia

Bicara mengenai kondisi ekonomi global, tidak bisa lepas begitu saja dari peranan negara-negara Asia, khususnya China. China adalah Negara besar dengan tradisi yang luar biasa di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Barangkali dengan kita belajar mengenai China, akan memberikan pelajaran yang sangat penting yang kita tidak akan dapatkan di masyarakat lainnya di dunia.

Dalam usaha pemerintah AS untuk memberikan rencana bailout kepada system finansial Amerika, usaha pemerintahan Bush ini mengingatkan kembali kejadian the Great Depression di tahun 1930an. Akan tetapi untuk masyarakat Asia kehancuran ekonomi masih terdengar belum lama. Krisis finansial yang terjadi 10 tahun yang lalu membawa perbankan, korporasi dan pemerintahan dalam kehancuran. Krisis yang dimulai oleh kolapsnya mata uang Bath Thailand di pertengahan tahun 1997. Kemudian meluas ke belahan Asia timur lainnya dengan imbas terjadinya devaluasi mata uang Asia hingga mencapai Rusia dan Brazil. Kesinambungan “keajaiban ekonomi” di Korea Selatan dan Hong Kong telah berakhir begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan Thailand.

Pelajaran penting yang dapat diambil dari krisis tersebut adalah melakukan penimbungan cadangan devisa. Hal ini menjadi semacam kepercayaan pada pemerintahan di Asia Timur. Di tahun 1990an, pertumbuhan ekonomi Asia yang cepat hanya memiliki cadangan yang kecil, walaupun pada saat itu ekspor dan investasi asing sangat pesat perkembangannya. Ketika krisis datang di tahun 1997, kekurangan cadangan devisa mempersulit kemampuan pemerintah Asia untuk menyelamatkan perbankan, memaksa mereka untuk memohon pertolongan dari institusi internasional.

Akan tetapi bailout dari IMF datang dengan banyak persyaratan termasuk paksaan untuk liberalisasi pasar modal yang pada akhirnya menyebabkan krisis makin memburuk. Bahkan negara-negara barat memberikan sebuah “panggilan” krisis finansial Asia sebagai Krisis IMF, kegagalan pemerintah dan keputusasaan ekonomi bersama IMF secara vital mengkonfirmasi pentingnya mempertahankan cadangan devisa dalam jumlah besar, sebuah masalah tidak hanya menjaga kestabilan mata uang, akan tetapi juga kemerdekaan ekonomi sebuah Negara.

Satu Negara di Asia yang tidak terimbas oleh krisis finansial pada tahun 1997-1998 adalah China. Banyak alasan mengapa hal ini terjadi terutama pada saat itu China sudah memiliki cadangan valuta asing sebesar 100 Miliar US Dollar dan menolak untuk merevaluasi mata uangnya ketika krisis menyerang.
Sejak itu China secara agresif mendorong perkembangan ekonomi yang pesat, ekspor, dan model investasi untuk pembangunan ekonomi melalui pematokan mata uangnya dan memproduksi lebih banyak dari pada mengkonsumsi, cadangan devisa China bertumbuh menjadi monster menyentuh angka 1 Triliun US Dollar di tahun 2005. Bahkan ketika China mendapatkan tekanan dari menteri keuangan AS untuk membiarkan mata uang Yuan mengambang terbatas di tahun 2005, cadangan devisa ini tumbuh hingga 200 Miliar US Dollar per tahun. Dan 1.5 tahun belakang ini cadangan devisa China meroket hingga 1.8 Triliun US Dollar dan menjadi yang terbesar di dunia.

Namun menjadi paradox ketika cadangan devisa pada hari ini tidaklah kekayaan nyata yang dikembalikan ke dalam ekonomi dalam negeri, malahan cadangan devisa ini merupakan soft loan kepada pemerintah AS.
Bahkan sebelum kehancuran Wall Street, terdapat consensus kuat di China bahwa cadangan devisa telah tumbuh jauh di atas yang dibutuhkan untuk menahan krisis seperti di tahun 1997. Usulan untuk melakukan devesifikasi strategi investasi mulai menguat. Investasi pada US Treasury Bill hanyalah menyebabkan kerugian karena adanya gap antara yield yang didapat dengan apresiasi mata uang Yuan.
Dengan penciptaan SWF sebesar 200 Miliar US Dollar, yang disebut dengan China Investment Corporation, Beijing memposisikan dirinya lebih ke investasi ekuitas (walaupun investasi pada Blackstone Group dan Morgan Stanley mendapatkan kritikan). Andy Xie seorang ekonom dari Morgan Stanly memberikan usulan bahwa pemerintah seharusnya menjual asset US Dollarnya dalam bentuk kepemilikan di perusahaan AS dalam skala besar, menantang AS untuk menyelesaikan masalah keetakutan untuk mencegah bencana kekurangan kapitalisasi

Namun banyak masyarakat di China mulai dari blogger yang nasionalis sampai dengan aktivis keadilan sosial memberikan kritikannya pada cadangan devisa yang sangat besar dari China. Mengapa harus membantu memberikan pembiayaan kepada ekonomi AS yang berbasiskan utang, ketika kebutuhan rumah tangga sendiri masih jauh dari yang diharapkan? China merupakan salah satu masyarakat yang egaliter pada akhir tahun 1985. Hari ini China mengalami permasalahan adanya gap antara si kaya dan si miskin. Hari ini gaya kapitalisme di China mempertontonkan perlawanannya pada ajaran dasar Konfusius yaitu: jangan khawatir terhadap kemiskinan, khawatirlah terhadap ketidakadilan.

Perkembangan pesat infrastruktur fisik di kota-kota di China yang mengalami modernisasi yang luar biasa namun infrastruktur sosial dan lingkungan yang hancur, terutama populasi di pedesaan dan daerah terpencil. Bertahun-tahun pemerintah pusat bicara mengenai keharmonisan sosial melalui system baru yaitu sistem layanan bersama kesehatan di pedesaan, melalui peningkatan anggaran untuk pendidikan menjadi 4% dari GDP dan menghilangkan SPP pendidikan, dan mengimplementasikan program pengembangan yang berkesinambungan. Janji ini begitu besar, tetapi tindakan pemerintah belum sepenuhnya terealisasi. Dan biaya ekonomi karena keterbatasan akses kepada kesehatan, pendidikan di atas minimnya air bersih & sumber air akan menyebabkan kerusakan dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Tantangan bagi China di masa yang akan datang adalah melepaskan diri untuk pembiayaan utang AS dan memulai investasi pada kesehatan, pendidikan, dan lingkungan bagi masyarakatnya. Pertumbuhan ekonomi tahunan mendekati 10% mejadi hal yang mudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar