Rabu, 21 April 2010

kisah Heroik 63 silam di surabaya

Kisah heroik 63 tahun silam di Surabaya, meninggalkan jejak-jejak sejarah yang masih melekat dalam sanubari bangsa. Heroisme dan patriotisme para pahlawan yang hanya bermodal peralatan sederhana, seperti bambu runcing, berani memerangi tentara Sekutu yang bersenjata jauh lebih mutakhir. Para pejuang bangsa tak pernah gentar untuk melawan penjajah. Masih ingat tokoh terkenal Bung Tomo, yang mampu menyalakan semangat perjuangan rakyat lewat siaran-siarannya di radio?

Perang di kota Surabaya melibatkan konspirasi pasukan sekutu dengan 30.000 serdadu (26.000 didatangkan dari Divisi ke-5 dengan dilengkapi 24 tank Sherman) dan 50 pesawat tempur dan beberapa kapal perang. Inggris menduga 3 hari Surabaya bisa ditaklukkan, namun kenyataannya memakan satu bulan sampai akhirnya Surabaya kembali jatuh ke tangan sekutu dan NICA.

Rakyat Indonesia marah mendengar konspirasi tersebut sehingga perlawanan terhadap Inggris dan NICA tetap berlanjut yang memuncak ketika pimpinan sekutu wilayah Jawa Timur, Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh 30 Oktober di Surabaya. Inggris dan NICA melalui Mayor Jenderal Mansergh yang menggantikan Mallaby mengultimatum rakyat Indonesia untuk menyerah sampai batas akhir tanggal 10 November pagi hari. Namun di batas ultimatum tersebut rakyat Surabaya menjawabnya dengan meningkatkan perlawanan secara besar-besaran, salah satu pimpinan perlawanan tersebut adalah Sutomo, dikenal sebagai Bung Tomo (yang menerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama pada tahun 1995 oleh presiden Suharto, baru tahun 2008 ini akan diangkat secara resmi menjadi Pahlawan Nasional).

Perang ini menimbulkan perlawanan lain di semua kota seperti Jakarta, Bogor, Bandung sampai dengan aksi membakar kota 24 Maret 1946 dan Mohammad Toha meledakkan gudang amunisi Belanda, Palagan Ambarawa, Medan, Brastagi, Bangka dan lain-lain. Perlawanan ini terus berlanjut, baik dengan senjata maupun dengan negosiasi para pimpinan negeri seperti perjanjian Linggarjati di Kuningan, perjanjian di atas kapal Renville, perjanjian Roem-Royen sampai akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada tahun 1949. Empat tahun revolusi yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, hingga akhirnya momentum 10 November dijadikan Hari Pahlawan. Dari fakta sejarah di atas bisa kita simpulkan, bahwa ancaman pertama kemerdekaan Indonesia bukan hanya Belanda ingin menguasai kembali, namun sekutu yang dipimpin Amerika memiliki kepentingan tersendiri di Indonesia.


BUNG!

Dengan heroisme, kita bangga berbangsa. Apabila tugas memanggil, kita tidak ragu untuk berjuang. Bangsa ini telah membuktikan diri menjadi bangsa pejuang. Melalui perjuangan kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Lalu perjuangan 10 November 1945 yang berhasil mempertahankan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, meskipun harus ditebus dengan darah dan jiwa. Bila kita mengenang jasa para pahlawan, selalu menimbulkan keharuan mendalam. Bagaimana tidak, saat itu apalah yang dipunyai? Harta? Pastilah bukan. Keduniawian saat itu bukan issu sama sekali. Tetapi, justru ada harta lain yang lebih bernilai, yakni semangat juang dan kesediaan berkorban untuk satu cita-cita kemerdekaan. Ketika sebutan "BUNG" diteriakkan secara tulus, di antara sesama pejuang dan rakyat, bagaikan magnet yang begitu kuat mengikat batin bapak-bapak kita. Itulah sebenarnya esensi kepahlawanan yang sampai kapan pun tetap akan aktual dan relevan. Semangat juang dan kerelaan untuk berkorban apa saja, harta benda, bahkan jiwa raga.

Lukisan kepahlawanan di medan laga akan selalu menyentuh. Romantikanya banyak kita jumpai dalam lagu-lagu perjuangan, seperti yang banyak terdapat dalam lagu-lagu ciptaan komponis Ismail Marzuki. Selendang Sutra berkisah tentang selendang sutra dari kekasih yang berjasa untuk membalut lengan yang luka parah. Melengkapi pelukisan kepahlawanan, tentu harus juga disebut pahlawan lain yang tidak berasal dari medan laga, tetapi dari medan diplomasi. Kita juga mengakui jasa para pejuang yang berhadapan dengan kekuasaan kolonial di meja perundingan, di Linggarjati maupun di Den Haag. Baik di medan laga maupun di medan diplomasi, para pahlawan kita di masa lalu telah memperlihatkan tekad, keberanian, dan jasa yang luar biasa.
Oleh karena itu, marilah dengan khidmat kita mengenang kebesaran sejarah bangsa kita, Berterima kasih kepada para pahlawan kusuma bangsa, kepada para pendiri republik, kepada para pendahulu dan pemimpin-pemimpin yang sejak kemerdekaan telah memimpin negeri kita. Para pemimpin dan pejuang yang telah menyatukan kedaulatan negeri mulai dari Sabang sampai Merauke. Negeri Indonesia yang tebingkai dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita pun bertafakur, melihat masa lalu, mengambil pelajaran, yang baik-baik kita teruskan, tidak baik kita perbaiki.

Tugas anak bangsa saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan nilai-nilai kepahlawanan, dalam mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan nyawanya. Jadi, penghormatan kita dengan menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Itulah makna merayakan Hari Pahlawan setiap 10 November. Akan tetapi kepahlawanan tidak hanya berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan pun dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu adalah pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan? Di sisi lain, banyak juga dari anak bangsa yang mampu melihat kebenaran dari makna kata pahlawan. Hal ini terlihat dari banyaknya tindakan-tindakan yang mencerminkan sifat-sifat kepahlawanan, keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, kesatriaan, panutan, maupun membahagiakan orang lain tanpa mengharapkan gelar sebagai pahlawan.

Di saat negara sedang menuju krisis keuangan global jilid dua, justru dapat kita temui orang-orang yang telah melakukan sifat-sifat kepahlawanan, dan juga sebaliknya. Orang-orang yang seyogianya melakukan sifat-sifat kepahlawanan, malah meninggalkan sifat-sifat itu. Ironisnya mereka yang melakukan sifat kepahlawanan adalah rakyat biasa tak bernama, dan yang meninggalkan sifat kepahlawanan justru mereka yang duduk di piramida atas negeri ini. Sehingga krisis yang melanda negeri kita semakin hebat.

Selain itu, euforia demokrasi pasca reformasi dan otonomi daerah, melahirkan banyak pertikaian di kalangan pemimpin lokal dan rakyat pengikutnya. Pilkada yang mestinya sebagai simbol demokrasi, sayangnya banyak dinodai oleh keonaran dan kemarahan. Saling-ejek, saling-hina, saling-lempar batu yang pada akhirnya menjadi adu phisik yang menimbulkan korban sia-sia. Hal yang lebih menyedihkan kita lagi, apabila pemimpin yang sudah didukung mati-matian oleh rakyat, ternyata bukan pemimpin yang amanah.

Apakah di zaman seperti sekarang ini, kita masih memerlukan pahlawan? Pahlawan seperti apakah yang cocok dengan konteks dewasa kini? Jawabannya adalah kita memerlukan pahlawan. Bangsa ini masih memerlukan sosok pahlawan, sosok yang menjadi panutan. Dengan sifat-sifat kepahlawanan yang ditunjukkan seseorang, apalagi jika dia seorang tokoh yang dikenal masyarakat luas, tentunya sifat-sifatnya akan menyebar, dapat ditularkan pada orang banyak. Karena manusia memiliki kecenderungan untuk meniru. Meniru apapun yang dilakukan oleh seseorang atau yang diidolakannya. Perbuatan meniru ini dapat dilakukan secara sadar atau tidak sadar. Jika yang ditiru adalah orang-orang yang selalu melakukan kebaikan untuk kepentingan umum, tentu akan menghasilkan lingkungan yang tertib aman dan nyaman. Tetapi jika yang ditiru adalah para petinggi negeri yang tidak amanah, maka semakin hancurlah negeri ini. Itulah sebabnya mengapa penting sekali bagi para pemimpin terpilih untuk memiliki kualifikasi yang baik, karena begitu banyak orang yang dapat meniru tingkah laku mereka.


Makna Pahlawan Zaman Ini

Dari uraian di atas kita dapat menarik beberapa kesimpulan. Pertama, memaknai kembali arti kata pahlawan dan siapa saja yang berhak mendapat sebutan pahlawan. Untuk itu perlu jujur pada sejarah negeri ini agar tidak terjadi kebingungan dan misinterpretasi. Bangsa ini harus berani mengakui kebaikan dan keburukan yang memang pernah terjadi di masa lalu. Sehingga sebutan pahlawan tidak lagi semata-mata ditentukan oleh "pahala" atau "dosa" menurut kaca mata penguasa, tetapi menurut nilai-nilai ideal yang ada dalam masyarakat.

Kedua, makna kata pahlawan dalam konteks yang lebih luas. Dalam arti siapa saja, dalam bidang apa pun dan tidak harus sudah meninggal dapat menjadi pahlawan. Semua orang dapat menjadi pahlawan, selama yang dilakukannya adalah hal-hal yang menunjukkan sifat-sifat kepahlawanan, yang bernilai luhur demi kepentingan orang banyak.

Ketiga, sosok pahlawan. Terutama untuk anak-anak yang akan meneruskan kelangsungan hidup negeri ini. Jangan sampai yang mereka lihat hanya pahlawan-pahlawan yang ada di TV semacam Superman, Spider-Man, Fantastic Four, dan Kenshi Himura. Sementara uraian-uraian tentang pahlawan, makna pahlawan, hanya menjadi bahan pelajaran di sekolah. Bersifat sangat tekstual, verbal, dan seremonial tanpa aplikasi. Padahal yang paling penting yang mereka perlukan adalah contoh nyata, pahlawan-pahlawan yang dapat mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Seiring perputaran roda waktu, pergeseran makna pahlawan nampaknya telah meluas menjadi konotasi yang lebih plural. Pahlawan tak terbatas dalam sebuah sosok saja melainkan sebuah gambaran realita yang memberikan kontribusinya juga adanya pengorbanan bagi banyak orang. Seperti seorang petani yang berjasa akan beras bagi kebutuhan pokok bangsa kita, para TKI yang jauh dari sanak saudara dan menyumbangkan devisa bagi negara ini, guru sebagai pahlwan tanpa tanda jasa. Bahkan seorang ibu memegang peranan besar, karena telah melahirkan dan membesarkan orang-orang hebat, dan sosok pahlawan lainnya.

Bagi para pekerja seni, khususnya para penyair, ada analisis Raudal yang mengutarakan, bahwa tema pahlawan telah berkamuflase menjadi sajak sosial di masa sekarang ini. Karena tidak ada patokan dari segi tema secara jelas, maka penempatan tokohnya makin beragam, tak hanya berdiri pada satu sosok melainkan masyarakat pun bisa menjadi pahlawan bila dilihat dari cara pandang yang lain.

Mari kita renungkan yang disampaikan oleh Prof. Taufik Abdullah (2002) budayawan dan mantan Kepala LIPI tentang pahlawan. Prof. Taufik mengungkapkan, bahwa jika perbuatan seseorang merupakan pantulan dari nilai ideal dominan, maka proses kelahiran pahlawan sedang dimulai. Atau apabila merujuk pada beberapa filsuf yang menyatakan bahwa pahlawan adalah seseorang yang sanggup menggugah hati orang banyak. Pahlawan adalah orang besar. Makna sebagai orang besar adalah mereka yang meluhurkan diri mereka sendiri dengan bekerja, demi semua orang tanpa mengharap keuntungan pribadi. Maka, seharusnya banyak sekali tokoh masyarakat yang dapat disebut pahlawan. Bahkan orang tak bernama pun bisa menjadi pahlawan selama dia meluhurkan diri bekerja demi orang banyak.

Sebagai warga bangsa, warga masyarakat, marilah kita laksanakan amanah yang diberikan kepada kita dengan sebaik-baiknya. Mari kita perbanyak amaliah kita. Mari kita menyatukan semangat, menyatukan tanggung jawab untuk bersama-sama membangun hari esok yang lebih baik. Mari kita terus meningkatkan tali silaturahim di antara kita, bersaudara, bersatu, berbangsa, hidup harmoni, dan penuh toleransi, Kita perkuat semangat kebangsaan kita, semangat dan cinta tanah air, tanah air Indonesia. Kita harus ambil semangat dan nilai-nilai kepahlawanan, sebagai wujud tanggung jawab kita memegang salah satu amanah penting para Founding Fathers yakni, menjaga keutuhan NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar